Belajar dari Musibah

Anggi Renaldy Pratama
5 min readAug 12, 2023

--

Sebenarnya apa arti musibah bagi kita? Mungkin definisinya akan sangat beragam. Bergantung pula dengan kadar ilmu dan pemahaman. Tak lepas juga dari kondisi 'di-saat-itu' bagi orang yang merasakan.

Hari ini, Qadarullah aku kehilangan dompetku di stasiun KRL. Tepatnya dicuri. Bagiku kehilangan menjadi frasa empuk yang sering melanda. Dan penyelesaiannya sederhana, menyalahkan keteledoran. Aku sering lupa menaruh barang, atau tidak sengaja menjatuhkan nya ke suatu tempat antah berantah. Namun, pada kasus dicuri, maka apakah memang murni keteledoran? Atau memang modus operandi yang sudah mengakar yang siap memangsa calon korbannya. Bagiku ini dua sisi.

Sisi pertama, musibah bagi sang korban. Ia mungkin dapat dengan ikhlas merelakan musibah yang menimpanya. Namun, di hati yang terdalam ada rasa kesal kepada orang yang melakukannya. “Kenapa mencari rezeki dengan cara merugikan orang lain". Tidak ada korban yang bahagia ketika mengalami kecurian, yang lebih bijak mungkin akan menanggapinya dengan lapang dada. Kembali lagi, bagi seorang penyabar, ia yakin semua ini adalah takdir-Nya.

Namun, bagaiamana dengan Sang Pelaku. Ada risiko dimana tindak pencurian nya bisa ketahuan. Tidak sekedar mendapatkan uang yang mungkin hanya bisa mencukupi hidup secara harian atau mingguan, bahkan ia beresiko untuk merugi berkali-kali lipat atas tindakannya. Berarti kalau kita pahami, ada faktor luck yang berpihak pada Sang Pelaku yang akhirnya membuat rencananya berjalan mulus. Pencurian memang sebuah tindakan buruk yang tidak bisa dibenarkan. Tapi, bukankah ini berarti Sang Maha Pemilik Takdir melindunginya dari marabahaya risiko ketahuan bahkan tertangkap. Bukankah jelas-jelas pencurian adalah perbuatan munkar. Tapi, kenapa Allah tetap membantu hamba-Nya menjalankan kemaksiatannya?

Tidak. Semua ini adalah Kebijaksanaan dari Sang Maha Kuasa. Pilihan yang telah diambil oleh Pelaku akan dipertanggungjawabkan di hari Akhir kelak. Allah melaksanakan janji-Nya dengan memberikan rezeki yang telah diwajibkan didapat oleh setiap hamba-Nya. Namun, manusia memilih cara yang ia kira merupakan cara terbaik untuk mendapatkannya namun bukanlah cara terbenar yang harusnya dilakukan.

Bagi Sang Korban, jelas ini merupakan kerugian. Tapi dalam sudut pandang lainnya, bukankah pasti ia pernah melakukan sesuatu kedzaliman yang atas izin Allah dibiarkan untuk tetap berjalan. Jika di dunia ini adalah dunia hukum, maka harusnya kedzaliman ataupun kemaksiatan yang kita lakukan harus diganjar kontan persis saat selesai melakukannya. Jika begitu, saya yakin tidak akan ada orang jahat di bumi, karena mereka akan berpikir panjang untuk melakukan kedzaliman yang ia canangkan, bahkan terbesit pun tidak akan pernah berani. Dan jika begitu, bagaimana dengan kita? Mulut yang lamisnya berbicara dan sengaja atau tidak menyakiti orang lain. Mata yang membiarkan melihat sesuatu yang tidak pernah dibenarkan. Telinga yang asyik mendengar, menikmati lantunan kalimat-kalimat penuh gurat kemaksiatan yang seru. Bahkan tangan dan kaki yang memutuskan memilih arah dan jalan yang salah. Jika benar begitu, bukankah kita sudah jadi abu? Remuk dengan semua adzab yang Allah karmakan kepada sang pendosa.

Laiknya Sang Pelaku, kita juga diberikan Allah akses dalam melakukan kedzaliman. Syukurnya, kemungkaran yang kita lakukan tidak langsung dibayar tunai. Mungkin dibalas beberapa waktu kemudian. Mungkin dibalas, begitu lamanya hingga kita lupa dengan maksiat kita, dengan musibah-musibah yang tak terduga. Mungkin dibalas dengan satu hantaman dahsyat yang meluluhlantakkan pondasi kehidupan kita. Atau yang lebih menakutkan, dan semoga kita semua tidak merasakannya, dibalas di akhirat seadil-adilnya, meskipun kesalahan yang kita perbuat sekecil atom yang tak terlihat, masalah hati misalnya.

Sehingga, hal inilah yang kadang menjadi penguat dikala musibah datang. Ingatkan diri bahwa bukankah Sang Korban ini juga pendosa sama seperti Sang Pelaku? Jika kita menginginkan keadilan, Sang Pelaku dihukum seadil-adilnya, bukankah musibah ini adalah hukuman seadil-adilnya dari Sang Pengadil yang Maha Adil? Jika kita merasa bahwa kita kehilangan sebagian atau semua yang kita punya, bukankah kita berasal dari ketidakpunyaan, seorang manusia papa yang tidak tahu apa-apa dan tidak punya kendali apa-apa atas kelahirannya di dunia, yang jika bukan karena Sang Pemberi Rezeki, kita tidak akan bisa hidup dengan Nikmat. Jadi apa yang kita anggap hilang? Jika memang semua itu bukan milik kita dari awal.

Kita, sang pendosa yang masih banyak hutang karma kepada dunia, masih merasa menyesal atas musibah yang kita timpa. Sungguh seharusnya tak layak. Bahkan, selevel Nabi Muhammad, sang manusia suci yang dijaga lisan hingga tindakannya dari kemaksiatan dan kedzaliman, itu pun mengalami yang namanya 'musibah’. Bahkan jauh berkali-kali lebih dahsyat dari musibah terdahsyat yang pernah kita rasakan di dunia. Mereka, para Bayi, Anak Kecil Yatim Piatu, yang belum tercatat dosa-dosa di buku amalnya, pun bisa jadi mengalami musibah yang jauh lebih dahsyat dibanding kita. Namun, apa yang bisa kita petik dari mereka? Mereka punya kesadaran yang haqiqi bahwa dunia bukan milik mereka, dan bukan tempat selamanya untuk mereka. Mereka hanya menjalankan tugasnya dalam beribadah, dan menjalani tarian takdir yang telah Allah gariskan kepada mereka. Dengan tulus, ikhlas, dan tentu Sabar.

Di penghujung, aku cuman mau mengigatkan diriku ini untuk tak pantas meratapi nasib. Tugas kita adalah merangkulnya dengan hati yang sabar, dan tetap bersyukur dengan nikmat-nikmat lainnya yang jauh lebih besar yang kita dapatkan, yang terkadang luput dari jangkauan. Kita yang tak pernah berterimakasih ke Allah, bersyukur kepadanya, memuji-Nya atas segala limpahan karunia yang kita punya. Bahkan seorang Atasan yang kita anggap sangat berjasa menyelamatkan diri kita dari kemiskinan dengan bayaran gaji yang mencukupkan, tak kan berani terbesit untuk kesal di depan mukanya. Sedangkan Allah sang Pemberi Rizki, yang telah memberikan kita semuanya, dari diri kita, hingga bumi yang kita pijak, lantas kita ratapi dengan sesal musibah yang bisa jadi ujian pendewasaan dari-Nya ini? Maka, coba lihat lagi diri kita.

Maaf ya Allah, aku adalah manusia yang perhitungan, atas musibah yang melanda aku berhitung masalah kerugian, sedangkan engkau memberi apapun yang aku butuhkan tanpa bisa dihitung. Maaf ya Allah, diriku yang masih suka menyalahkan keadaan, padahal bisa jadi ini adalah ujian yang mendewasakan dari-Mu. Maafkan aku ya Allah, rasanya tak pantas aku hidup di dunia ini yang serba milik-Mu, berpijak di segala penjuru yang juga milik-Mu, merasakan segala rasa yang juga pastinya milik-Mu, sedangkan aku masih merasa bahwa apa yang kupunya adalah kepunyaanku. Maka, ampunilah aku ya Rab, dari segala keegoisanku, ketamakanku, dan kebergayaanku yang selalu mendahului nikmat-Mu. Lindungilah aku ya Allah dari karma, adzab bahkan siksaan-Mu, yang aku yakin aku pasti tak akan pernah sanggup menghadapinya. Ya Allah, di akhir pembelajaran ku ini, aku ingin bersyukur atas karunia-Mu, aku ingin berterima kasih atas nikmat-Mu, dan aku ingin menyampaikan rasa bahagiaku atas semua takdir-Mu.

Ya Allah, Engkau adalah Sang Maha Baik. Aku belajar dari musibah-Mu hari ini.

--

--

Anggi Renaldy Pratama

“ Pecundang adalah orang yang tidak bisa mengalahkan dirinya sendiri”