Menyelami Makna 1/4 Abad Menjadi Manusia

Anggi Renaldy Pratama
5 min readAug 9, 2023

--

Malam dengan keheningannya mulai menyapa. Aku dengan segala daya berusaha untuk tetap bertahan menghabiskan waktu. Menunggu tenggat ini kan berakhir sambil menghirup udara segar yang masih bisa ku hirup. Hari yang paling aku nantikan dengan harap dan cemas. Hari dimana aku resmi menjalani 25 tahun kehidupan sebagai manusia di bumi. Hari kelahiranku.

Tak ada bahan yang layak ku curahkan. Otakku kosong tidak terisi sama sekali materi yang pantas untuk dibagi. Tapi, kupaksakan dengan tega untuk beranjak dari kasur yang nyaman ke tempat yang dapat menegakkan punggungku agar mau untuk berdiri. Karena aku tak mau melewatkan momen berharga, maka aku menyetujui untuk merepotkan diri dengan menulis coretan ini. Alibiku sempurna. Tidak perlu menjadi sang motivator untuk punya kata, cukup menjadi diri sendiri jika hanya sekedar mencari makna. Pada akhirnya aku mulai membenamkan diri dalam memori.

Kenapa hari ini terasa begitu berharga? Entah, aku juga tak punya jawabannya. Yang pasti, hatiku selalu cemas menantikannya. Optimisme, ketakutan, rendah diri, putus asa, dan secercah harapan. Kesemua elemen rasa itu menyerang secara bergantian ke dalam sanubari hati yang rentan. Aku juga tak bisa mengaturnya, semuanya datang seakan memberikan sinyal kepada jiwa “Sudah nikmati saja rasanya”. Aku pun tak tahu, apakah ini penyakit musiman di setiap memasuki usia 25, ataupun hanya diriku saja yang merasakannya. Yang pasti, perasaan ini tidak pernah kurasa sebelumnya, seperti sindrom yang tiba-tiba datang ketika waktunya akan tiba.

Orang bilang usia ini adalah usia dewasa, yang artinya tidak ada lagi aksi kekanakkan dalam kamus kehidupan selanjutnya. Sebagian yang lain bilang ini adalah periode quarter life crisis, dimana penyandangnya akan di selimuti pikiran-pikiran beragam tentang bagaimana menjalani kehidupan. Sebagian lagi yang kupercaya berkata bahwa usia ini adalah saat dimana Sang Junjungan, Rasulullah SAW memulai lembaran kehidupan baru dengan mengambil komitmen menikah dengan Siti Khadijah. Dan masih banyak lagi definisi yang menghantui. Jelas, dari kesemuanya seolah menandakan bahwa usia ini adalah saatnya aku harus serius dengan kehidupanku.

Selama ini aku cenderung mengalun. Berusaha teguh tapi kadang jatuh. Mencoba untuk tetap solid tapi sebenarnya rapuh. Berupaya menata agar tetap kokoh tapi pada ujungnya aku sendiri yang membuatnya runtuh. Aku berusaha serius, tapi aku sendiri yang paling tak acuh. Hingga pada akhirnya, sisi pengecutku akan muncul dan berkata “Ah sudahlah yang lalu biarlah berlalu”. Dan aku akan berhenti, menyerah, dan mengabaikan apa yang telah diusahakan. Selesai.

Katanya hidup yang hampa adalah hidup yang tidak diperjuangkan. Aku amat paham dengan apa yang dimaksud kalimat tersebut. Tapi memilih untuk balik kanan adalah pilihan yang paling menenangkan. Setidaknya untuk orang-orang yang tak pernah yakin dengan dirinya. Ya, itulah aku, pengecut yang selalu mengaku si paling kuat. Pantas saja, hidupku tidak pernah dapat dibanggakan. Setidaknya jika dibandingkan dengan mereka yang sudah berhasil menuntaskan limitasi mereka hingga menjadi sukses dengan cita-citanya. Aku kalah.

Hidupku bukan tanpa perlawanan. Pada masa geloranya, aku punya segudang mimpi yang menunggu tuk diwujudkan. Seluruh tubuhku bersatu padu menghimpun kekuatan untuk dapat menuntaskan target-target yang telah dicanangkan. Aku menjadi mode superku yang siap melahap setiap misi yang dijalani. Tapi, aku tetaplah aku. Ketika sudah jauh melangkah, godaan untuk menyerah muncul membuncah, dan aku memilih untuk rubuh. Otomatis diriku terbanting kasar, terhempas kuat, tergelincir kembali ke dalam jurang kenistaan yang tak pernah kuinginkan. Bangunanku roboh. Aku kembali harus menyusunnya dari awal. Itupun jika masih ada semangat yang tersisa. Ataupun menunggu musim baik datang untuk mengisi energi yang telah hilang dimakan kelalailan.

Pada ujungnya aku merasa semua ini sia-sia. Tidak ada kemajuan yang bisa kubanggakan. Aku bergerak, tapi aku tidak berpindah. Delta pertumbuhan diriku nyaris tak berpacu dari acuan titik awal. Tidak ada yang bisa diunggulkan selain untung angkanya tidak mengarah ke tren yang negatif.

Kurasa tidak ada yang salah dengan hidup. Dia bergerak sangat cepat seperti biasa. Hanya akunya saja yang tidak mampu membersamainya. Dan memilih berpacu dengan kecepatan yang tidak memberatkanku. Padahal tidak ada hasil manis tanpa perasan keringat yang didorong hingga batas akhirnya. Hidup ini telah berjalan semestinya, akunya saja yang terlalu santai menjalaninya.

Ya, setidaknya yang bisa disyukuri dari kekalahan-kekalahan ku adalah aku sadar bahwa aku kalah. Dan aku berjanji untuk tidak akan kalah dalam kesempatan berikutnya. Bukankah selalu ada momen comeback bagi setiap kubu yang berjuang. Maka aku memilih detik ini untuk menjadi titik hempas agar dapat memenangkan kehidupan selanjutnya. Semoga. Bismillah

25 Tahun. 300 Bulan. 9131 hari. 219150 jam. 788940000 detik. Semua itu bukanlah angin lalu saja. Selalu ada yang bisa disyukuri dari apa yang telah diberikan Allah kepada hamba-Nya yang lemah ini. Aku sadar diriku yang masih bisa bernafas, berbicara, hingga berjalan merupakan nikmat akbar yang luput dari perkiraan. Sang Maha Segalanya sudah begitu baik memberikan tetes-tetes rezekinya agar bisa digunakan secara maksimal. Hanya, aku yang sering luput menyadarinya. Maka dari apa yang sudah Allah beri, mulai sekarang aku harus mensyukuri dengan bertumbuh menjadi lebih baik setiap hari.

Awalnya aku merencanakan untuk mewarnai tulisan ini dengan nuansa inspirasi. Tapi, rasa tidak bisa dibohongi. Ia yang menuntun jari untuk mencurahkan setiap gundah gulana yang telah dirasakan selama berhari-hari lamanya pada catatan ini. Tak apa, memang dari awal aku tidak berniat menjadikan goresan ini menjadi ilham. Yang kuharapkan adalah kelak ia (tulisan ini) datang dalam mimpiku, menamparku untuk bangun dan sadar bahwa garis finish masih jauh. Aku harus selalu berusaha.

Mimpiku masih melambung tinggi. Aku memang sering kehilangan motivasi, tapi aku tak pernah kehilangan mimpi. Harapanku untuk diriku yang lebih baik di masa depan masih tertancap kuat. Hajatku untuk membahagiakan dan dapat membanggakan kedua orang tua jelas melekat di lubuk hati terdalam. Asaku untuk bermanfaat bagi sekitar tak pernah berpindah. Angan-anganku untuk membangun daerah terus menggema di kepala. Cita-Citaku untuk jadi manusia berguna untuk nusa, bangsa dan agama akan terus menjadi lantunan doa dan harap kepada sang Maha Pencipta. Maka, di hari yang telah kutunggu, izinkan ku untuk memaknainya menjadi tamparan semangat bagi jiwa yang lembam ini. Aku bisa. Ya Allah bisakan hamba.

9 Agustus 2023. Tidak ada untaian kata inspiratif yang terbang di jagat maya. Tak ada gerakan positif yang menjadi markah seperti tahun-tahun sebelumnya. Tak ada momen-momen yang dapat diingat sebagai penanda bab kehidupan. Aku, hanya ingin berdoa saja.

Ya Allah, terimakasih telah memberikan kehidupan yang hebat selama 25 tahun ini. Maafkan aku masih belum bisa seperti apa yang Engkau inginkan. Semoga Engkau memberi hamba kesempatan di waktu-waktu berikutnya untuk memperbaiki diri.

Rabbana Atina Fiddunya hasanah, wafil akhirati hasanah, waqina adza bannar.

--

--

Anggi Renaldy Pratama

“ Pecundang adalah orang yang tidak bisa mengalahkan dirinya sendiri”